Santri
secara etimologis (ta’rif lughawi) adalah seorang pelajar yang sedang menimba
ilmu di pesantren. Karena itu seseorang yang sudah berhenti mondok, tidak lagi
disebut santri. Namun, dalam artian yang lebih luas, terutama dalam konteks
sosiologis (ta’rif istilahi), santri bermakna “setiap orang Islam yang relatif
taat dalam menjalankan ajaran Islam” baik ia alumnus pesantren atau bukan.
Dengan demikian ia merupakan kebalikan dari muslim abangan, sebuah istilah bagi
seorang muslim yang tidak taat. Dari kedua ta’rif santri secara lughawi maupun
secara istilahi di atas dapat dipahami jika keduanya mengacu pada satu
pemahaman : bahwa seorang santri adalah seorang muslim yang dalam perilaku
kesehariannya akan selalu berusaha menjadi representasi atau mewakili ajaran
Islam ideal (QS Al Baqarah 2:207).
Apa
ajaran Islam ideal itu? Setidaknya ada lima unsur pokok perilaku yang harus
dilakukan seorang santri dalam perannya sebagai individu yang mewakili Islam.
1. Pertama, level personal. Memelihara diri sendiri dan
keluarga (anak dan istri) untuk selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan
Islam. (QS Thaha 20:132). Inilah syarat dasar seorang pemimpin: yakni memulai
kebaikan dari diri sendiri (QS Al Baqarah 2:44).
2. Kedua, sikap kepemimpinan. Memposisikan diri sebagai
pemimpin dan pelopor kebaikan dengan menunjukkan kepedulian pada sesama muslim
salah satunya adalah dengan berusaha meningkatkan level keilmuan, keislaman dan
keimanan mereka (QS Ali Imron 3:110 ).
3. Ketiga, keilmuan. Seorang santri yang kredibel adalah
seorang yang berilmu. Santri adalah ahlul ilmi. Ia adalah ulama di mana
keilmuannya melebihi kalangan yang dipimpinnya dan karena itu ia dihormati (QS
Al Mujadalah 58:11). Setidaknya ia melebihi yang lain di bidang ilmu agama (QS
At Taubat 9:123). Tanpa itu apa bedanya santri dengan kalangan nonsantri?
4. Keempat, level sosial dengan non-muslim. Menghormati dan
mentolerir (tidak membenci) pemeluk agama lain selagi mereka tidak mengganggu
kita. Bahkan jika perlu melindungi hak-hak nonmuslim yang didzalimi seperti
yang ditunjukkan Rasulullah pada nonmuslim Madinah.
5. Kelima, memakai standar etika tinggi. Seorang yang
memposisikan diri sebagai seorang santri yang baik hendaknya memakai standari
etika yang tinggi. Baik etika Islam maupun sosial. Quran menyebutnya dengan
istilah iffah (QS An Nur 24:33; An Nisa’ 4:6).
Sikap
iffah ditandai dengan kemauan yang kuat untuk menghindari perilaku yang tidak
dianjurkan dalam agama dan juga sikap yang dianggap kurang baik dalam pandangan
etika sosial di suatu masyarakat tertentu.
Iffah
juga dapat bermakna selalu berusaha menjaga martabat, kehormatan dan harga diri
dengan cara selalu bersikap konsisten antara kata dan tindakan; disiplin dalam
memelihara kesucian diri, berkemauan kuat menjunjung reputasi dan nama baik.
Hanya dengan itu santri akan memiliki kredibilitas dan mendapat respek di mata
orang-orang di sekitarnya. Bukan hanya di mata kawan dan “lawan,” tapi juga
terutama dalam pandangan orang-orang yang dipimpinnya.
Inilah
lima unsur yang akan membuat seorang santri kredibel dan dapat mengklaim
dirinya mewakili kepribadian muslim sejati, maka akan terasa INDAH Islam ini
jika tetap berpegang teguh pada prinsip SANTRI.tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar